Ngomongin cinta, pasti diidentikkan dengan bentuk heart atau jantung hati (yang akhirnya disebut hati aja, padahal heart berarti ‘jantung’). Kamu yang lagi kasmaran pasti sering memberi simbol hati buat kekasihmu, entah dalam bentuk bantal, kartu ucapan, atau sekadar teks SMS.
Cinta itu memang selalu dihubungkan dengan jantung hati. Tapi, benarkah cinta itu benar-benar datang dari sana?
Dari mana datangnya cinta? Jika pertanyaan itu dijawab oleh ilmuwan, maka jawabannya adalah otak. Otak memang istimewa: dengan lebih dari 100 miliar sel saraf, dia menerima rangsangan dari indera, mengontrol sistem motorik, dan mengatur fungsi tubuh. Otak juga berfungsi sebagai pusat pemikiran dan memori. Jadi, gak heran kalo “hati” kita sebenarnya ada di otak.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan neurosains Bianca Acevedo, dijelaskan ada empat bagian kecil otak yang “memproses” perasaan cinta: ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens, ventral pallidum dan raphe nucleus.
VTA terletak di bagian tengah depan dari sisi dasar otak yang merupakan kunci reward system di otak. Ketika orang merasa jatuh cinta, VTA ini akan aktif dan menghasilkan senyawa kimia dopamin yang didistribusikan ke bagian otak yang lain. Dopamin inilah yang menyebabkan kamu merasa nyaman dan bahagia.
Helen Fisher, peneliti dan profesor dari Rutgers University, mengatakan bahwa bagian VTA ini aktif karena saat jatuh cinta, kamu merasakan bahwa kamu sedang menerima hadiah yang luar biasa, yaitu pasangan hidup.
Cinta itu bagai candu
Menurut ilmuwan lagi, secara kimiawi jatuh cinta itu berefek di otak seperti kecanduan obat-obatan. “Jatuh cinta itu ibarat candu, akan merusakmu jika cinta dijalani dengan buruk,” ujar Fisher. “Manusia bisa membunuh karena cinta.”
Lalu gimana dengan patah hati?
Para ilmuwan juga telah meneliti otak pada orang-orang yang baru saja mengalami patah hati. Dan ternyata patah hati atau putus cinta juga menimbulkan efek yang mirip dengan memutus kecanduan kokain: mereka bakal mengalami craving atau sakaw.
Cinta sejati itu seperti apa?
Ilmuwan lalu menyasar penelitian hubungan cinta dan otak ini pada pasangan yang telah menikah selama 20 tahun tapi masih tetap lengket seperti orang baru jatuh cinta. Pada pasangan seperti ini, ada dua lagi bagian otak yang aktif selain VTA, yaitu ventral pallidum dan raphe nucleus.
Ventral pallidum diasosiasikan dengan keterikatan dan hormon yang mengurangi stres, sementara raphe nucleus memompa serotonin yang bikin tenang. Kedua area ini memproduksi perasaan “tidak ada hal yang salah” yang merupakan perasaan bahagia yang sederhana.
Lalu, perasaan setia itu sebenarnya apa?
Karena meneliti otak manusia itu punya banyak keterbatasan, para ilmuwan memanfaatkan prairie vole untuk menguak fungsi otak yang menimbulkan rasa keterikatan. Prairie vole (Microtus ochrogaster) adalah mamalia pengerat mirip tikus yang hidup di padang rumput Amerika Utara. Binatang ini setia sama pasangannya lho!
Peneliti mempelajari vole dan menemukan bahwa hormon kunci dari rasa keterikatan pada betina adalah oksitosin, yang juga diproduksi manusia pada saat melahirkan. Sedangkan pada jantan, hormonnya adalah vasopressin.
Ternyata, variasi genetis juga mempengaruhi sifat tidak setia lho. Variasi genetis ini ditemukan pada beberapa vole jantan yang tidak menganut monogami — dan ditemukan juga pada pria. Pria yang kadar hormon keterikatannya rendah, lebih sering mengalami masalah pernikahan.
Berdasarkan penelitian di atas, ilmuwan kini mengerti bagaimana menjaga agar cinta tetap bersemi. Caranya adalah dengan melakukan hal-hal yang bisa menstimulasi senyawa kimia tadi agar emosi yang diharapkan bisa muncul, bisa dengan pelukan, ciuman, memberi hadiah, dan sebagainya.
Akhirnya, cinta bukan hanya milik hati, tapi milik seluruh impuls saraf yang diciptakan-Nya untuk memberi kita apa yang disebut dengan rasa
0 komentar:
Posting Komentar